Sudah kita ketahui bersama bahwa saat ini produksi daging ayam dari tahun ke tahun telah meningkat dengan sangat pesat. Bahkan di tahun 2013 produksi daging ayam mencapai 1,7 juta ton, dimana 16% berasal dari daging ayam lokal dan 84% berasal dari daging ayam ras (Data Kementan, 2014). Ini artinya, kontribusi produksi daging ayam terhadap total produksi daging nasional mencapai 62,56% (Poultry Indonesia, 2014). Sebuah jumlah produksi yang cukup tinggi.
Meskipun demikian, pertumbuhan industri perunggasan di sektor hulu (sektor budidaya) yang begitu pesat ini, belum diikuti dengan pertumbuhan yang seimbang di sektor hilir. Kondisi ini telah menyebabkan jumlah produksi ayam hidup melebihi permintaan konsumen, sehingga memicu terjadinya over supply. Saat terjadi over supply ini tidak mungkin kita membuang ayam hidup tersebut secara cuma-cuma. Yang ada adalah terjadi penumpukan produk daging ayam di waktu-waktu tertentu. Hal ini yang kemudian berdampak pada rendahnya harga jual ayam di tingkat peternak. Bahkan seringkali harga jual berada di bawah biaya produksi (harga pokok produksi/HPP). Dengan begitu peternak ayam tidak selamanya untung. Lalu bagai-mana solusinya untuk membantu mening-katkan margin keuntungan peternak tersebut?
Pengembangan Usaha Sektor Hilir
Salah satu solusinya ialah peternak harus mulai mengembangkan secara langsung usaha di sektor hilir. Jenisnya bisa berupa usaha rumah pemotongan ayam (RPA) atau industri pengolahan daging ayam. Mana yang lebih baik? Dua-duanya baik, hanya saja untuk tahapan pengembangan industri pengolahan daging ayam sebaiknya dilakukan setelah usaha di tingkat budidaya hingga RPA dinilai mantap. Artinya, peternak lebih baik mengembangkan usaha RPA terlebih dahulu.
Hal ini dinilai perlu mengingat karakter bisnis di industri pengolahan daging ayam relatif agak berbeda dibandingkan dengan unit usaha di peternakan dan RPA. Strategi pengembangannya pun relatif berbeda mengingat produk yang dihasilkan merupakan consumer goods yang penjualannya akan lebih efektif bila menggunakan media iklan atau media promosi lainnya. Belum lagi dengan jenis produk yang akan diproduksi, branding dan packaging/pengemasan yang digunakan, mutu dan kualitas produk, rasa, dll yang kesemuanya itu memerlukan riset pasar terlebih dahulu sehingga biayanya pun akan relatif besar.
Namun hal ini bukanlah halangan bagi peternak yang nantinya akan mengembangkan lebih jauh usahanya ke arah industri pengolahan daging ayam, mengingat porsi kebutuhan konsumen akan produk ayam olahan masih sangat besar. Untuk memulainya, peternak bisa mengembangkan terlebih dahulu industri pengolahan daging ayam tradisional yang tidak membutuhkan modal yang terlalu besar dan produk yang dihasilkan berupa produk curah dan tidak ber-merk. Namun untuk produknya tetap harus memperhatikan standar BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) dan atau standar SNI (Standar Nasional Indonesia).
Biasanya hasil produksi pengolahan daging ayam tradisional ini berupa nugget, kaki naga, otak-otak, bakso ayam, kripik ceker ayam/usus, dll. Proses pengolahannya lebih banyak menggunakan tenaga manusia dibandingkan mesin. Bila nanti pangsa pasarnya berkembang, maka peternak tinggal meningkatkan kapasitas produksinya. Apabila masih kurang memadai, maka industri pengolahan tradisionalnya harus di up grade menjadi industri pengolahan semi modern. Dengan demikian industri pengolahan daging ayam tersebut nantinya akan menjadi pendorong usaha peternakan di sektor hulu.
Rumah Potong Ayam, Salah Satu Alternatif Usaha Atasi Tingginya Gap Harga
Kembali membahas mengenai usaha rumah potong ayam (RPA), beberapa pakar menilai bahwa usaha peternakan yang terintegrasi dengan RPA mampu jadi solusi atasi masalah over supply, karena kelebihan produk daging ayam bisa disimpan sementara di cold storage RPA. Selain menyelesaikan masalah tersebut, RPA juga bisa membantu mengatai tingginya gap harga daging ayam yang terjadi saat ini. Sebagai contoh, di tingkat peternak harga ayam broiler hidup di Pulau Jawa selama beberapa bulan lalu berkisar antara Rp. 14.000 – Rp. 16.000 per kg. Sedangkan di tingkat konsumen masyarakat harganya mencapai Rp. 25.000 – Rp. 35.000 per kg karkas/daging ayam. Dari sini terlihat adanya gap yang cukup jauh antara harga ayam hidup di tingkat peternak (kandang) dengan harga beli di tingkat pasar (masyarakat). Bagaimana hal ini terjadi?
Selama ini hanya sekitar 30% peternak broiler mandiri atau pemilik usaha kemitraan broiler yang menjual langsung ayam hidup ke tempat pemotongan atau RPA. Sedangkan sisanya 70% peternak menjual ayam hidup ke pedagang besar atau broker (tengkulak), dan umumnya jalur tersebut akhirnya akan melalui mata rantai yang panjang. Tidak sedikit yang melewati sub-broker, bahkan ada yang masuk lagi ke sub-sub broker yang lebih kecil, baru ke pemotong kecil atau pedagang di pasar.
Mata rantai perdagangan seperti inilah yang membuat gap besar tadi. Meski begitu, jangan sampai masalah ini mempengaruhi gairah para peternak dalam menjalankan usaha budidaya ayam. Peternak tidak perlu khawatir berlebihan dan terus dibayangi ketakutan akan harga yang tertekan. RPA bisa menjadi salah satu jalan keluar guna menurunkan gap harga tersebut. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika peternak mandiri atau pemilik kemitraan kini mulai terjun langsung ke bisnis RPA.
Selama ini belum banyaknya peternak bermain di bisnis RPA bukan karena tidak melihat peluang usaha, tapi umumnya sudah puas dengan zona nyaman di usaha budidaya. Maka dari itu, tidak ada salahnya jika sekarang peternak yang sudah mumpuni mulai mengembangkan usaha RPA sendiri, sehingga karkas/daging ayam yang dihasilkan bisa langsung dijual ke pasar untuk mengurangi panjangnya mata rantai perdagangan ayam tadi. Jika rantai perdagangan bisa diperpendek, maka akan memberikan efek positif bagi peternak maupun konsumen. Konsumen bisa memperoleh harga yang bagus dan peternak juga tidak merugi.
Jika merujuk pada harga daging ayam di tingkat konsumen, sebaiknya tidak lebih dari Rp. 30.000/kg agar tetap menarik di mata konsumen. Dengan mahalnya harga daging sapi dan produk hasil laut, maka daging ayam bisa menjadi alternatif pilihan sumber protein yang lebih terjangkau.
Untuk mulai membuat RPA, peternak sebelumnya bisa mengumpulkan modal dengan menabung sedikit demi sedikit keuntungan yang diperoleh, misalnya 20% dari keuntungan penjualan ayam ditabung. Jika dananya sudah mencukupi, tidak usah takut untuk langsung membuat RPA. Repot di awal-awal pasti terjadi. Akan tetapi jika sudah terbiasa, maka peternak pun akan bisa menikmati hasilnya.
Dengan dijalankannya RPA, otomatis akan ada penyangga bagi peternak, dimana ketika harga jual ayam hidup rendah, peternak bisa menyimpan produk ayamnya dalam bentuk karkas. Dan saat ada kesempatan daging ayam itu dikeluarkan, paling tidak peternak akan menjual di atas harga produksi. Tetapi diharapkan peternak tidak akan menjual dengan harga terlalu tinggi ke konsumen sehingga ada minat dari konsumen untuk mengonsumsi daging ayam lebih banyak.
Akhirnya, margin keuntungan peternak meningkat, pembelian dan konsumsi ayam dari konsumen menjadi meningkat, serta harga ayam hidup menjadi naik.
Selain itu, jika produk karkas yang tersedia di pasaran semuanya sudah berasal dari RPA, maka semakin lama masyarakat akan menerima dan meninggalkan kebiasaan membeli ayam hidup yang dipotong di pasar. Imbasnya, aspek ASUH (Aman Sehat Utuh Halal) dari ayam yang dijual di pasaran bisa terpenuhi dan risiko penularan penyakit seperti flu brung dari ayam hidup yang ada di pasar pun bisa ditekan.
Konsep Rumah Potong Ayam
Setelah mengetahui garis besar prospek bisnis RPA bagi peternak ayam, sekarang tidak ada salahnya jika kita mengenal seluk-beluk RPA itu sendiri. Di lapangan, seluruh ayam dari unit budidaya/peternakan ditampung di RPA sesuai dengan bobot yang diminta oleh RPA. Apabila bobot ayam dari peternakan tidak memenuhi standar dan kualitas RPA, maka ayam tersebut dapat dijual ke pasar luar.
Ada sejumlah persyaratan bagi ayam untuk bisa masuk ke RPA. Selain sehat, bebas dari memar, bobotnya juga harus seragam. Umumnya yang paling favorit adalah berat hidup 1,6-1,8 kg, tapi ada juga yang sampai 2 kg, itu memang untuk yang permintaan dagingnya saja. Contohnya, untuk bisa memasok karkas ayam ke salah satu perusahaan ayam goreng cepat saji yang terkenal di Indonesia, ayam yang dikirim harus memenu-hi standar yang mereka tentukan misalnya umur dan berat badan hidupnya 1,2 kg hingga 2,3 kg per ekor.
Dari segi ekonomi, pelayanan jasa pemotongan di RPA kini cukup menjanjikan. Investasi untuk mesin pun cukup terjangkau. Dengan modal awal Rp. 200 juta – Rp. 250 juta, mesin berkapasitas 1.000 ekor per jam sudah ada di tangan.
Investasi lain yang perlu dipertimbangkan adalah tanah. RPA yang baik harus memenuhi syarat jarak minimal dari permu-kiman penduduk sekitar. Jarak ini tergantung pada jumlah ayam yang dipotong. Untuk pemotongan berkapasitas 1.000 ekor, investasi tanah tidak terlalu besar. Umumnya jarak 100 meter juga sudah cukup. Kebutuhan listriknya pun tidak terlalu tinggi. Kebutuhan listrik untuk memotong 1.000 ekor per jam kurang lebih 6.000 watt.
Sedangkan untuk pengembalian modal jasa pemotongan ayam ini memang bervariasi, tergantung biaya yang dipatok per ekor ayam yang dipotong dan volume pemotongan per hari. Menurut Saryanto (2006), jika dalam satu hari RPA bisa memotong minimal 5.000 ekor ayam, maka pengembalian modalnya bisa cepat. Jadi, apabila dalam satu hari mampu memotong 5.000 ekor ayam per hari dan ongkos potong satu ekor ayam Rp. 750, maka dalam satu hari RPA bisa mengantongi uang sebesar Rp. 3.750.000. Kemudian, setelah satu bulan beroperasi dengan jumlah pemotongan yang tetap sama, RPA itu akan menghasilkan uang dari jasa pemotongan saja sebesar Rp. 112.500.000. Keuntungan ini belum ditambah dengan penjualan produk sampingan, seperti kepala, ceker, jeroan (usus, hati, dan ampela). Selain itu, masih ada bulu ayam yang harganya Rp. 500 per kg basah. Dapat dibayangkan betapa menguntungkannya usaha RPA ini.
Untuk peternak pemula, sebaiknya RPA yang didirikan berkelas menengah/semi modern, mengingat RPA yang modern membutuhkan investasi dan modal yang sangat besar. Mengapa tidak membuat RPA tradisional yang ala kadarnya saja? Pertimbangannya adalah RPA tradisional biasanya kurang memenuhi standar RPA yang baik, seperti kurang higienis dalam penanganannya sehingga memungkinkan terjadinya konta-minasi bakterial pada produk karkas yang dihasilkan.
Dalam menjalankan bisnis RPA, dibutuhkan pula seorang salesman yang handal, mengingat RPA merupakan salah satu unit usaha yang dapat memanfaatkan momentum fluktuatif harga ayam. Adapun untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan daging ayam yang jumlahnya telah ditetapkan (minimal sesuai dengan kapasitas mesin), pihak RPA harus bisa memenuhi order produk karkas secara kontinu memelihara kepercayaan pelanggan.
Aspek lainnya yang harus dipenuhi oleh sebuah RPA ialah:
Perlunya cold storage
Sudah bukan rahasia lagi jika pada sebuah RPA dibutuhkan tempat penyimpanan dingin (cold storage) dengan kapasitas yang cukup besar, yang sewaktu-waktu bisa dipakai apabila harga ayam turun sehingga pihak RPA tetap bisa memotong ayam dalam jumlah banyak. Apabila harga jual sudah membaik kembali, maka RPA tinggal mengeluarkan stock ayam dari dalam gudang (cold storage, red). Lebih mendetail, katakanlah kita punya kandang kira-kira populasi 500.000 ekor tersebar di beberapa wilayah. Tentu akan rugi sekali jika populasi ayam yang dihasilkan banyak, tapi ayam hanya dijual ke pasar melalui broker.
Ayam memang komoditas yang mudah rusak. Bila dalam waktu enam jam tidak disimpan di mesin pendingin, maka karkas ayam segar (bagian tubuh yang disembelih selain kepala, jeroan, ceker, ekor, dan bulu) pun akan rusak.
Berdasarkan cara penyimpanannya, karkas dibagi tiga, yaitu karkas segar, karkas dingin, dan karkas beku. Karkas segar pemasarannya tidak boleh dari enam jam. Sementara karkas dingin harus disimpan pada suhu 4o-5oC, sedangkan karkas beku disimpan pada suhu -12oC sampai -18oC. Daging ayam dalam kondisi beku bisa bertahan setahun, sedangkan yang chilled (dingin) dengan suhu 5oC maksimal bertahan seminggu, tapi biasanya 3-4 hari. Melihat kondisi inilah dapat dikatakan RPA berpendingin mampu memperpanjang masa simpan produk ayam. Hal ini tentu bisa menjadi salah satu solusi bagi fluktuasi harga di pasaran.
Selain itu, daging ayam hanya ber-tahan sekitar 3 – 4 jam di udara terbuka, lebih dari itu akan terjadi penyusutan bobot akibat terjadinya proses degradasi pembusukan. Sementara ayam beku dalam cold storage mampu bertahan 3 – 4 bulan. Namun sayangnya, sistem teknologi pendingin di RPA lokal secara umum masih belum baik. Masih banyak pemilik RPA yang menganggap teknologi pendingin ini membutuhkan biaya besar.
Belum banyak yang paham, teknologi pendingin mampu mencegah penyusutan berat produk dan keamanan pangan. Penyusutan berat karkas bisa mencapai 25% jika dibiarkan 2 hari di udara terbuka tanpa disimpan di pendingin. Sedangkan biaya pendingin hanya sekitar 5% dari harga daging ayam atau sekitar Rp. 1000/ekor. Rinciannya Rp.700/kg untuk biaya handling bahan baku pasca potong (Rp.700.000/ton) dan Rp.300/kg untuk ongkos distribusi berpendingin (Rp.300.000/ton). Sementara biaya pembuatan logistik berpendingin (cold storage) sederhana saat ini berkisar Rp.7 juta per ton produk.
Sayangnya sampai sekarang, persentase ayam yang dipotong di RPA masih sedikit. Sekitar 85% diarahkan ke pasar tradisional, sementara yang 15% di rumah potong ayam, dibekukan, dan kemudian diproses menjadi nugget, bakso, dll sebagai komoditas-komoditas olahan. Rendahnya angka ini boleh jadi disebabkan masih minimnya kesadaran masyarakat akan bahan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Alhasil RPA masih terkonsentrasi di kota besar dan wilayah di sekitarnya.
Pasca penyembelihan, proses pengelolaan ayam mensyaratkan rantai dingin sampai distribusi ke konsumen. Hal ini tercantum dalam SNI kualitas karkas ayam untuk konsumsi masyarakat. Maka dari itu, RPA yang bagus tentu akan melengkapi transportasi produk karkasnya dengan alat pendingin untuk menjaga suhu produk pada rentang 4o-5oC. Suhu ini dipertahankan dengan tujuan menekan pertumbuhan bakteri, sehingga kualitas karkas sampai ke tangan konsumen sama seperti saat pasca dipotong.
Perlunya jaminan ASUH dan sertifikat NKV
Di awal sekilas sudah dijelaskan bahwa membangun RPA haruslah berstandar. Standar tersebut telah tercantum dalam peraturan SNI No. 01-6160-1999 Tahun 1999. Terkadang pada RPA tradisional, beberapa peraturan seperti aspek higienitas tidak terpenuhi dan tidak melalui rantai dingin. Padahal kita tahu dengan higienitas, produk karkas ayam tidak akan menjadi mata rantai sumber penyebaran penyakit ke konsumen.
Ketika RPA dibangun menuruti aturan SNI, maka mutu karkas ayam hasil pemotongan di RPA akan memiliki kualitas yang baik karena diproses dengan peralatan potong berteknologi modern dan semi modern, menganut kaidah halal dan higienis, serta diproses lanjut dengan sistem rantai dingin. Adapun standar SNI bagi pendirian dan pengoperasian RPA ini diterbitkan pemerintah sebagai acuan bagi pelaku usaha untuk menghasilkan daging ayam yang ASUH, yaitu Aman, Sehat, Utuh, dan Halal.
Tak hanya menjadikan SNI sebagai acuan, idealnya RPA juga harus mengantongi sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV) serta sertifikat halal, meskipun hari ini keduanya belum diwajibkan oleh pemerintah. NKV merupakan bukti tertulis telah terpenuhinya persyaratan higienis sanitasi produk pangan yang dikeluarkan RPA. Dan dari ratusan RPA yang beroperasi di wilayah Indonesia, tercatat baru 34 unit yang sudah memiliki sertifikat NKV. RPA ini lokasinya tersebar di beberapa daerah di antaranya di Jawa Barat ada 16, di Yogyakarta ada 2, di Jawa Timur ada 2, di Sumatera Barat ada 1, dan Sumatera Utara ada 5. Saat ini kebijakan pembangunan RPA sudah diotonomikan ke daerah, maka disarankan setiap kabupaten/kota wajib memiliki RPA.
Lebih memprihatinkan, dari sekian banyak RPA yang ada di Indonesia, hanya 31 yang memiliki izin Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Sebaran RPA ber-NKV itu di Sulawesi Selatan, Lampung, Bali, DKI Jakarta, Sumatera Barat masing-masing sebanyak satu, di DIY dua, di Jawa Timur dan Banten tiga, di Jawa Tengah empat, di Sumatera Utara lima, dan di Jawa Barat sembilan unit. (Trobos, 2014)
Tingginya angka RPA ber-NKV di Jawa Barat disebabkan wilayah ini terdekat dengan DKI Jakarta yang notabene pusat konsumsi nasional. Rendahnya angka RPA ber-NKV ini secara keseluruhan lantaran masyarakat selama ini hanya mengejar sisi halalnya belaka. Padahal, dengan memiliki NKV, halal juga terjamin. Seharusnya setiap RPA memang mempunyai dua sertifikat, yaitu sertifikat Halal dan NKV.
Untuk mengurus NKV sebenarnya juga tidak terlalu rumit karena syarat mendapatkan NKV telah diatur di dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 381/Ktps/OT.140/10/2005. Persyaratan teknis tersebut antara lain, memiliki dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL), memiliki tenaga kerja teknis yang mempunyai keterampilan di bidang kesehatan masyarakat veteriner, dan proses penanganan yang higienis (Trobos, 2014).
Melihat prasyarat yang diperlukan untuk memperoleh NKV, tentunya semua ayam yang dihasilkan RPA ber-NKV memenuhi standar tinggi. RPA yang sudah dijaminkan harus memiliki penanda. Bahwa ayam yang dipotong di RPA tersebut sudah memenuhi persyaratan ASUH. Namun memang tingkat pendi-dikan dan penghasilan individu pastilah mempengaruhi pemilihan bahan pangan berstandar baik. Kondisi inilah harus memaksa agar kita bisa mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa daging ayam kualitas baik bisa diperoleh langsung di RPA.
Demikian penjelasan mengenai salah satu alternatif pengembangan usaha bagi para peternak budidaya ayam, yaitu industri pengolahan daging ayam dan RPA. Kita sebagai pelaku usaha peternakan juga perlu tahu bahwa usaha yang kita jalankan saat ini sebenarnya sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi usaha terpadu. Cakupan usahanya pun luas, mulai dari sektor hulu (pembibitan, pengolahan pakan, obat-obatan, dll) hingga hilir (RPA, pengolahan hasil produksi, dll). Jika saat ini belum ada modal, tidak ada salahnya untuk menabung sedikit demi sedikit dari keuntungan yang selama ini diperoleh.
Diharapkan dengan adanya usaha terpadu ini maka akan terbentuk captive market yaitu suatu pasar tetap yang proses pengelolaannya berasal dari peternak, oleh peternak dan untuk peternak dimana seluruh margin usaha akan dinikmati oleh peternak pula. Akankah usaha terpadu bisa tercapai? Semuanya tergantung pada peternak itu sendiri. Semoga sukses.
Www.DokterUnggas.com